Ketika hendak berpisah,
seorang lelaki yang sudah lama berteman dengan Ibrahim bin Adham berkata,
“Utarakanlah aib yang pernah engkau lihat dariku, supaya aku bisa
memperbaikinya.” Ibrahim kemudian menjawab, “Aku tak pernah menemukan aib dalam
dirimu. Selain karena aku tak punya bagian untuk itu, aku juga selalu
menganggap baik apa yang engkau kerjakan, dengan mereka-reka alasan atas apa
yang telah engkau lakukan. Jika kau tetap ingin tahu, tanyakan saja pada orang
lain.”
***
Kisah yang diceritakan Imam al-Qusyairi dalam Risalah-nya ini
hanyalah sebagian kecil dari banyaknya cerita indah persahabatan para sufi.
Sebuah keindahan yang dapat dirasakan dari cara mereka yang lebih mendahulukan mata
bening hati ketika melihat sesuatu, daripada menggunakan pikiran, apalagi nafsu
yang notebene-nya selalu membelenggu dalam kebenaran yang semu.
Melihat semua itu, masih dalam Risalah al-Qusyairiyah, tidak heran
jika kemudian ulama sufi kemudian memetakkan persahabatan (yang sesungguhnya)
menjadi tiga bagian, yang jika dicermati, semuanya akan menepi pada satu
kesimpulan, saling menjaga perasaan. Tiga bagian itu:
Pertama, berteman dengan orang yang lebih tua atau tinggi
derajatnya. Jika kita memiliki teman yang seperti ini, maka apapun yang kita
lakukan, pada hakikatnya harus didasari dengan khidmah, melayani. Bisa dengan
membantu kebutuhan mereka, atau menjaga rasahia dan kesalahan yang mereka
lakukan, dengan dasar husnudz-dzan.
Mengenai pelayanan dalam persahaban ini, Sahal bin Ibrahim pernah
bercerita, “Aku adalah teman Ibrahim bin Adham. Ketika aku sakit, Ibrahim
melayani kebutuhanku dengan hartanya. Saat aku menginginkan sesuatu dan dia
tidak punya apa-apa, dia jual kudanya tanpa sepengetahuanku, dan uang hasil
menjual itu dia berikan kepadaku. Jauh hari setelah itu, aku menanyakan
kudanya. Ketika aku tahu bahwa kudanya telah dijual, aku bertanya, “Lantas,
jika ingin keluar, kita naik apa?” Dia menjawab, “Saudaraku, naiklah ke atas
leherku ini.” Dia lalu menggendongku hingga tiga tempat persinggahan
(Desa/Kota).”
Kedua, berteman dengan orang
yang lebih muda umurnya atau lebih rendah derajatnya. Jika mempunyai teman
seperti ini, apa yang akan kita lakukan padanya mesti didasari kasih sayang,
sebagaimana jika kita berteman dengang orang yang sepadan umur dan sosialnya
(bagian ketiga), maka harus saling menjaga perasaan dan memberikan
penghormatan.
Dari tiga bagian yang telah disebutkan ini, kita lalu tidak asing dengan
pribahasa “Menghotmati yang lebih tua dan mengasihi yang lebih muda”. Yaitu, dua
sisi dari persahabatan yang memang mesti dipertahankan dengan saling mengerti
dan saling melengkapi.
Namun, dewasa ini, seringkali kita temukan persahabatan yang nampak indah
dari luar, tapi kenyataannya sangat busuk dari dalam. Semua itu terjadi karena
mereka –bisa jadi juga kita– yang tidak mampu memahami bahwa esensi dari
persahabatan adalah menciptakan tali persaudaraan, dan semua itu tidak akan
terlaksana jika persahabatan hanya dibangun di atas pondasi egoisme pribadi.
Kita harus mengerti, persahabatan yang ideal akan sangat sulit tercapai
jika yang lebih tua terus-menerus menuntut dihormati, sedangkan yang lebih muda
tiada henti-hentinya meminta dikasihani. Sama-sama menuntut. Sama-sama tak
diberi karena gengsi. Maka sama-sama memakan tuntutannya sendiri. Sama-sama tak
dapat apa-apa. Sama-sama kecewa dan terluka. Kosong.
Tiba-tiba saya teringat Madura di pertengahan Ramadhan tiga tahun lalu, saat
itu tetangga saya pernah bilang pada temannya, “Cepat ambilkan barang itu.” Mungkin
karena bersikap terlalu keras dan memaksa ketika meminta. Mungkin karena yang
dimintai tolong sedang lelah menahan teriknya Ramadhan, atau sangat mungkin kerena
kedua-duanya, teman itu diam tak menjawab apa-apa. Tetangga saya kemudian
membentak, “Kau harus menghormatiku karena aku lebih tua darimu!” Temannya yang
lebih muda itu langsung menyela, “Kau harus mengasihaniku, karena aku lebih
muda darimu. Maka tolong, ambillah sendiri, kita sama-sama punya kaki!”
Mungkin, dari sanalah tulisan ini lahir. Mungkin
sebagai refleksi, bukan sebagai aksi menggurui, karena hakikatnya saya
berbicara pada diri sendiri, maka tentu saja bukan pula aksi sok suci. Bisa
juga semua ini, semua gagasan yang terurai tak terurusi dan tak rapi ini mungkin
hanya sekadar bentuk keprihatinan pribadi, ketika persaudaraan dan persahabatan
yang harusnya bermuara dari solidaritas dan kasih sayang penuh yang
membanggakan, kini justru banyak dipecundangi oleh nafsu dan ego sendiri.
Artikel serupa persahabatan bisa bisa anda klik di sini
Artikel serupa persahabatan bisa bisa anda klik di sini