Nikmat: Saat Sudah Pergi, Kita Baru Sadar Bahwa Dia Sangat Berarti!



Nikmat, bahagia, keuntungan, dan semua macam kenyamanan, sudah sangat sering membuat kita terlena. Akibatnya, kita tak pernah menyadari bahwa semua nikmat itu akan pergi, dan sangat sulit untuk kembali! Kita juga jarang menyadari bahwa nikmat itu tak ada yang kekal abadi.

Ketika kita mendapatkan nikmat rezeki, kita sering terlalu bahagia hingga lupa berdoa: mengucapkan syukur pada Tuhan SWT yang Maha Kuasa. Padahal, jika bersyukur, maka rezeki akan ditambah. Sebaliknya, jika kita lupa bahwa nikmat itu pemberian Tuhan, maka dengan segera, nikmat itu akan Allah SWT cabut. Tujuannya satu, agar kita kembali mengingat-Nya.

Berikut ini, akan kami uraikan sedikit kalam hikmah Imam Athaillah As-Sakandari dalam al-Hikam-nya. Terkait dengan masalah nikmat yang sering kita sadari, tapi sayang saat iasudah pergi.

***

مَنْ لَمْ يَعْرِفْ قَدْرَ النِّعَمِ بِوُجْدَانِهَا عَرَفَهَا بِوُجُودِ فُقْدَانِهَا
“Orang yang tidak merasakan kebesaran nikmat yang ada, akan sadar setelah nikmat itu tiada.” (Imam Athaillah As-Sakandari dalam al-Hikam-nya)

Kedua mata yang kita gunakan untuk melihat segala macam keindahan, keajaiban dan keluarbiasaan makhluk Allah SWT, juga kedua telinga yang dapat mendengar beraneka ragam suara yang indah dan mengagumkan, semua itu adalah nikmat luar biasa yang dianugerahkan Allah SWT  kepada kita. Keduanya ibarat antena yang dapat memancarkan atau menangkap isyarat yang kemudian disalurkan ke dalam hati.

Sebelumnya, kita sudah mengetahui bahwa akibat dari keberadaan kita di dunia ini adalah menyembah Sang Pencipta yang menciptakan kita. Lalu, sedikit demi sedikit kita dituntun untuk mengenal dzat yang kita sembah itu. Kita perhatikan, bagaimana al-Quran membicarakan ini:

أَفَلَا يَنظُرُونَ إِلَى ٱلۡإِبِلِ كَيۡفَ خُلِقَتۡ ١٧ وَإِلَى ٱلسَّمَآءِ كَيۡفَ رُفِعَتۡ ١٨ وَإِلَى ٱلۡجِبَالِ كَيۡفَ نُصِبَتۡ ١٩ وَإِلَى ٱلۡأَرۡضِ كَيۡفَ سُطِحَتۡ ٢٠

“Maka, apakah mereka tidak memerhatikan unta, bagaimana ia diciptakan? (17) Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? (18) Dan gunung-gunung, bagaimana ia ditegakkan? (19) Dan bumi, bagaimana ia dihamparkan? (20)” (QS. Al-Ghasyiyah: 17-20)

kata kaifa diulang-ulang dalam empat ayat di atas. Hal tersebut, tiada lain adalah dalam rangka menggiring manusia untuk mengenal dzat yang menciptakannya, Allah SWT . Lihatlah gunung, bagaimana gunung bisa tegak, lihat langit, bagaimana langit didirikan tanpa tiang, lihat unta, bagaimana ia diciptakan dengan beragam manfaat dan keajaiban-keajaibannya. Itu semua untuk menjadikan seseorang menyembah kepada Allah SWT .

Namun, sebenarnya sasaran dari pertanyaan-pertanyaan seperti di atas adalah hati, karena hati merupakan tempat tumbuhnya iman manusia. Ketika hati menerima gelombang informasi dari mata atau telinga yang membaca atau mendengar bacaan al-Qur’an, maka tertanamlah benih-benih keimanan dalam hati itu. Benih-benih ini, jika terus dirawat, disiram dengan selalu banyak mengingat dan ibadah kepada Allah SWT  maka akan semakin tumbuh subur. Sehingga, akan mengantarkan orang yang memiliki hati tersebut mengenal Allah SWT .

Proses itu terus berlanjut. Setelah seorang manusia bisa mengenal Allah SWT , bahwa dia-lah Tuhan yang menciptakannya, menciptakan unta, langit, gunung, bumi dan lain-lain dengan sejuta keajaibannya, maka ia akan merasakan bahwa apa yang telah diberikan oleh Allah SWT  untuk dirinya adalah kerunia nikmat yang luar biasa mengagumkan.

Akan tetapi, ketika dia tidak menyadari keluarbiasaan nikmat-nikmat tadi –seperti diberi dua mata untuk melihat segala macam keindahan, keajaiban dan keluarbiasaan makhluk Allah SWT  tapi semua nikmat itu bisa tidak dirasakan, gak disyukuri – maka saking welas-Nya kepada manusia, Allah SWT mengingatkannya dengan dicabutnya nikmat itu. Dia dibutakan oleh Allah SWT, biar dia merasa, “Oh, kalau begitu, mata itu hebat, luar biasa!” Kalau sudah tiada baru terasa.

Hal semacam ini sebagai bukti bahwa Allah SWT itu adalah Dzat yang Maha Rahman dan Maha Rahim. Namun, sebagian hamba-Nya kadang masih tidak menyadari akan belas kasih-Nya itu. Dalam hal ini adalah orang yang masih awam.
Seorang petani atau nelayan, misalnya, ketika musim sedang tidak bersahabat, gagal panen atau hasil buruk yang mereka dapat, bukannya menyadari akan besarnya nikmat, mereka justru mengeluh karena kenyamanan yang biasa ia rasakan tiba-tiba saja menghilang, tidak lagi ia rasakan.

Maka dari itu, keadaan semacam ini jangan sampai terus barlarut-larut. Seseorang yang kehilangan suatu nikmat jangan sampek terus lupa kepada Allah SWT. Lupa kepada nikmat Allah SWT. Diberi nikmat kok tidak dirasakan. Harus diingatkan. Dalam al-Quran sudah berkali-berkali Allah SWT mengingatkan, wasykurû... wasykurû... udzkurû ni’mati... ingat, ingat dan diingat. 

Cara mengingatnya adalah dengan mensyukuri akan nikmat yang ada. Coba dihitung, mulai bangun tidur sampai hendak tidur lagi, berapa banyak nafas yang kita hirup dan kita hembuskan. Jika tidak demikian maka Allah SWT akan memilih cara lain supaya kita bisa ingat. dicabutlah nikmat itu. 

Dan, buktinya yang ada adalah sebaliknya. Nafsu yang terus memburu, telah membawa kita pada pada jurang kehancuran. Falyadzkurû, falyasykurû.... wallahu a’lamu bis-shawab

Kehidupannya datar-datar saja. Tak pernah suspensi di sana-sini. Maklum dia bukan anak orang besar dan kaya. Tak pernah ada yang waw setiap hari.

Bagikan Yuk!!!

Sajian Yang Lain

Previous
Next Post »