Kebiadaban
pada wanita!!! Dalam
setiap episode-nya, wanita, yang sering kita namai zaman sekarang dengan cewek-cewek, memang memiliki tempat tersendiri dalam perputaran perdaban. Dari kebiadaban dan kekejaman
yang sedemikian parah dialami seperti pada masa Persia, Cina, Romawi dan
Yunani, hingga pada masa yang menempatkan mereka dalam kemulian seperti saat
cahaya agama Islam mulai menerangi penjuru bumi.
Semua kebiadaban, siksaan dan kekejaman itu,
semua kondisi yang menempatkan kaum hawa pada era membuminya opresi (siksaan) akut ataupun penghormatan, baik secara kolusif
ataupun transparan, memang harus diakui memiliki efek tersendiri dalam
membentuk gaya hidup mereka secara pribadi. Semuanya adalah fakta yang tak
terbantahkan!
Kondisi Perempuan Pada Masa Dulu
Keadaan sosial kaum perempuan pada masa kegelapan (era
Yunani, Romawi, Persia Hindu, Cina klasik, dan Arab Jahiliyah) tak ubahnya
sampah yang berserakan di jalan-jalan. Di injak-injak, sebelum akhirnya
digelontorkan ke tong sampah, atau bahkan dibakar dan dikubur hidup-hidup begitu saja.
Situasi semacam ini lantas memaksa mereka menempatkan diri dalam keadaan untuk
mendapatkan perhatian, selain juga untuk mendapatkan ideografi (harapan) yang terus menerus
berdengung tapi lebih sering berakhir dalam arus kekecewaan. Seiring berjalannya waktu,
kehormatan demi kehormatan wanita
kemudian terkikis habis demi kepentingan nafsu kebinatangan kaum laki-laki,
yang memang memiilki otoritas penuh dalam menjalankan roda kehidupan saat itu.
Kebiadaban Persia,
Romawi dan Hindi pada Wanita
Dalam karyanya, Al-Mar’ah Baina-Islâm
wal-Qawânînil-‘Âlamiyah, Salim al-Bahnasawi menjelaskan panjang lebar
tentang keadaan buruk dan tak terhormat yang diterima kaum hawa, yang semuanya
secara konkret terlihat dari kanun (ketetapan) yang seakan diciptakan memang
untuk mendiskriminasi perempuan. Di antaranya: Perempuan diperlakukan seperti
anak kecil dan orang gila. Artinya, wanita tidak memiliki opsi sama sekali
dalam menentukan apapun. Hal ini terjadi pada masa Romawi, Persia dan Hindi.
Kebiadaban
Peradaban Cina Klasik pada Wanita
Hal yang berbeda terjadi dengan kanun yang
terlaksana dalam peradaban Cina klasik. Wanita, dalam pandangan mereka adalah
barang yang paling rendah harganya di muka bumi[1].
Bahkan, untuk wanita yang telah menjadi istri sah sekalipun, para lelaki di
Cina klasik tetap memiliki otoritas untuk menjual istrinya sendiri, layaknya
budak murahan di pasar-pasar dan even pagelaran[2].
Kebiadaban Arab
Jahiliyah pada Wanita
Tak jauh berbeda dengan pelecehan dan
penghinaan yang terjadi pada masing-masing peradaban di setiap bangsa di atas,
Arab Jahiliyah, yang konon memiliki ketinggian jiwa seperti suka membantu dan
terkenal sangat dermawan, dalam memandang kaum hawa ternyata sama saja. Hal ini
terlihat jelas dari apa yang pernah diungkapkan oleh Sayidini Umar bin
al-Khathab. Katanya, “Demi Allah, seandainya aku berada pada masa jahiliyah,
aku tidak berkomentar apa-apa tentang perempuan. Hingga akhirnya Islam datang
meberikan keputusan, dan membagikan apa yang semestinya mereka terima”.
Dari ucapan ini, secara tersirat, pada
masa jahiliyah wanita tidak mendapatkan porsi apa-apa, selain apa yang menjadi
keharusan dari memuaskan nafsu kebinatangan kau Adam. Semua itu terus
berlangsung hingga akhirnya Islam datang, dan harga diri wanita terangkat
secara pasti.
Islam Memuliakanmu, Kaum Hawa...
Di tengah derasnya arus kegelapan yang
menyelimuti kehidupan, Islam datang membawa cahaya penerang, dan hak-hak wanita
yang mestinya dimiliki namun terpinggirkan oleh gelapnya peradaban, akhirnya
dapat diberikan secara adil dan proporsional. Di antara hak yang
berikan oleh Islam itu adalah kebebasan bermasyarakat, seperti duduk bersama
membicarakan apa-apa yang sedang dialami, yang hal ini sangat sulit ditemukan
pada masa-masa umat terdahulu. Semua itu tentu dengan melihat aturan-aturan
yang berlaku, seperti tidak meninmbulkan fitnah, dosa dan semacamnya.
Suatu ketika Sayidina Umar bin al-Khathab
bertamu pada Nabi r.
Saat itu, Nabi Muhammad r sedang
berbincang-bincang (riwayat lain konsultasi) dengan para wanita Quraisy. Ketika
Umar t
meminta izin masuk, perempuan yang bersuara lebih keras dari Nabi r
itu langsung berdiri dan memakai hijabnya. Saat Umar masuk, Nabi Muhammad r
tertawa.
“Apa yang membuatmu tertawa, wahai
Rasulullah?” tanya Umar t
penasaran. Nabi Muhammad r
kemudian menjelaskan bahwa beliau heran melihat tingkah laku
perempuan-perempuan yang berada di sampingnya. “Ketika mendengar suaramu,
mereka langsung memakai hijab.” Jelas Beliau kemudian.
Umar t
lantas menanggapi, “Kepadamu, Wahai Rasulullah r,
seharusnya mereka lebih sigap.” Umar t
lalu bertanya “Wahai Perempuan-perempuan yang memusuhi dirinya sendiri, apakah
kalian berlaku sigap kepadaku, tapi tidak sigap di hadapan Nabi r?”
Perempuan-perempuan itu menjawab, “Iya. Engkau lebih kasar dan keras dari Nabi
Muhammad r.”
Rasulullah r
kemudian berkata pada Umar t,
“Wahai Ibnal Khathab t,
demi Dzat I
yang jiwaku ada dalam genggamanya, tidaklah engkau melewati suatu jalan,
kecuali syetan menikung ke jalan lain.” (HR Bukhari-Muslim)[3].
Dari cerita ini, di zaman sebelum Islam,
pemimpin besar mana di dunia ini kira-kira yang mau duduk bersama perempuan-perempuan
atau rakyat jelata? Sebuah fakta yang sebenarnya sangat sulit –jika tidak baik
dibilang tidak ada– ditemukan di peradaban terdahulu.
Selain ini, pada kesempatan lain Nabi
Muhammad r
pernah bersabda, “Ya Allah I,
sesungguhnya aku menjaga hak dua golongan yang lemah: perempuan dan anak
yatim.”[4]
Kesimpulan
Dari semua pemaparan di atas, bisa dilihat
bahwa hanya agama Islam-lah yang mampu memberikan tempat nyaman bagi kaum
perempuan, hatta kewajiban hijab yang bertujuan untuk menjaga kehormatan
sekalipun. Bahkan, dalam karyanya Said Ramadhan al-Buthi menjelaskan bahwa
perempuan memiliki kebebasan yang sama dalam hal bekerja seperti kaum
laki-laki.
Namun demikian, yang sangat perlu dipahami, kebutuhan yang bersifat primer memang mesti didahulukan dari kebutuhan sekunder[5], seperti benturan kerja dengan mengasuh buah hatinya, maka yang mesti didahulukan adalah mengurus buah hatinya. Kita tahu, bahwa sekolah pertama bagi balita adalah orangtua, terutama ibunya. Maka dari itu, bahagialah mereka yang menggenggam agama ini, dan mendapatkan porsi mengabdi dengan merawat buah hati.
Namun demikian, yang sangat perlu dipahami, kebutuhan yang bersifat primer memang mesti didahulukan dari kebutuhan sekunder[5], seperti benturan kerja dengan mengasuh buah hatinya, maka yang mesti didahulukan adalah mengurus buah hatinya. Kita tahu, bahwa sekolah pertama bagi balita adalah orangtua, terutama ibunya. Maka dari itu, bahagialah mereka yang menggenggam agama ini, dan mendapatkan porsi mengabdi dengan merawat buah hati.
[1] Salim al-Bahnasawi, Al-Mar’ah Bainal-Islâm
wal-Qawânînil-‘Âlamiyah, hal. 11-18. Darul Wafa’. Cet ke-1 tahun 2003 M.
[2] Muhammad bin Ahmad al-Muqadam, Al-Mar’ah
Baina Takrimil-Islâm Waihanatil-Jahiliyah, hal 28-34. Darul-Ibnil Jauzi.
Cet ke-1 2005 M.
[3] Ibnu Atsir, Jamiul-Ushul fi Ahaditsir-Rasul,
VIII/619, Maktabah al-Halwaniy, Versi Maktabah Syamilah
[5] Said Ramadhan al-Buthi, Perempuan Antara
Kezaliman Sistem Barat dan Keadilan Islam, hal. 65-66. Pen. Darsim Erma
Imam Fajaruddin. Cet-I , Era Intermedi, Maret 2002 M.