Perdamaian di bawah
payung Abrahamic Faith bak sebuah oase di tengan padang pasir. Bisa
mungkin sikap trauma sebagian masyarakat Barat (Eropa dan Amerika) yang
kemudian merembet ke Indonesia, membuat buta. Akibat tindakan-tindakan
intoleran yang menimpa Muslim dunia, seperti pembantaian muslim Rohingya, Palestina
atau kasus intoleran yang baru-baru ini terjadi pada komunitas Muslim di
Jakarta, mendorong sebagian umat Islam memilih wacana Abrahamic Faith sebagai
solusi perdamaian pamungkas, tanpa meneliti kebenarannya terlebih dahulu.
Pembahasan
Bermula dari sebuah
konfrensi ilmuan muslim-yahudi-kristen atau The Muslim Jewish Crishtian
Conference (MJCC) pada tahun 1979 di
New York. Para ilmuan lintas agama tersebut (Islam, Kristen dan Yahudi) mengupayakan
komunikasi antar agama yang meliputi tiga unsur penting agama yang dipopulerkan
oleh keturunan Nabi Ibrahim u: Islam, Yahudi, dan Kristen.
Konferensi tersebut menghasil
sebuah rumusan Abrahamic Faith, bahwa: pada dasarnya tiga agama tadi adalah
satu kesatuan, karena bersumber dari nenek moyang yang sama, yakni Nabi Ibrahim
u. Semenjak itu wacana Abrahamic Faith menjadi istilah yang sangat populer dan
terus dipropagandakan oleh
klangan pluralis sebagi golden way permersatu tiga
agama.
Mereka mengklaim, bahwa
Nabi Ibrahim u sebagai abul-anbiya’ telah melahirkan tiga agama tadi
merupakan sebagai bukti kemiripan tiga agama tersebut. Adapun perbedaan bentuk
konsepsi dan ritual hanya dianggap sebagai perbedaan ijtihadi masing-masing
agama yang tidak perlu dipermasalahkan. Perbedaan tersebut bagi kaum pliralis,
sepeti perbedaan antar madzhab dalam Islam (furû’iyah)—mengutip
pendapat Kamil Najjar dalam at-Tasyabbuh wal-Ihktilâf.1
Minset seperti ini
tentu saja tidak pernah dibenarkan. Membungkus agama Islam bersama Yahudi, dan Nasrani
sebagai sajian perdamaian dalam satu nampan adalah tindakan salah kaprah; terlalu
memaksakan bahkan rapuh secara keimuan Islam. Dalam hal ini ada beberapa alasan
penting:
Pertama, eksistensi ajaran Yahudi dan Nasrani sampai saat ini, jika
disetarakan dengan agama Islam dapat menimbulkan tanda tanya besar. Pasalnya, ajaran
Yahudi dan Nasrani yang bersifat temporal (dibatasi oleh waktu) tentunya sudah tergeser.
Kesemuanya telah disempurnakan oleh agama Islam sebagai agama samawi terakhir yang
bersifat abadi dan universal.
Syekh Nawawi al-Banteni
ketika mengomentari surah al-Maidah [5]: 48 menyatakan, bahwa Taurat (kitab suci
umat Yahudi) adalah berstatus syariat semenjak diutusnya Nabi Musa u, sampai terutusnya Nabi Isa u. Sedangkan Injil (kitab suci umat Kristiani) adalah berstatus
syariat semenjak diutusnya Nabi Isa u, sampai terutusnya Nabi Muhammad r. Adapun al-Quran adalah syariat untuk semua makhluk sejak
masa kehidupan Nabi Muhammad rsampai hari kiamat kelak.”2
Hal ini senada dengan
ungkapan Imam ats-Tsa’labi, yang menyatakan bahwa salah
satu fungsi keistimewaan al-Quran adalah
sebagai rujukan pokok untuk memilah ajaran yang benar dan salah akibat distorsi
(tahrif) yang terjadi pada kitab-kitab terdahulu yang menjadi
pedoman ajaran terdahulu.3
Nah,
sampai disini sudah terlihat kerapuhan wacana Abaramic Faith, karena
bagaimana mungkin agama Islam yang fungsinya sebagai agama yang menyalin (naskh)
dan menyempurnakan ajaran nabi-nabi sebelumnya, kemudian disatukan dengan
ajaran yang di salin (mansukh).
Kedua, penyandaran ajaran Yahudi dan Nasrani kepada Nabi
Ibrahim u sebenaranya hanyalah klaim tak mendasar. Karena, baik Nabi
Ibrahim atau nabi-nabi lain pendahulu Nabi Muhammad r memiliki prinsip agama yang sama, yakni sebuah agama
yang hanya mengesakan Allah I (tauhîd).4
Hal itu dapat dilihat
secara jelas pada firman Allah I, dalam surah Ali Imran [3]: 67 (yang artinya): “Ibrahim
u bukanlah orang Yahudi bukan (pula) seorang Nasrani, akan
tetapi dia adalah orang yang lurus dan muslim. Dan tidaklah dia termasuk dari
golongan orang-orang musyrik.”
Meunurut para Mufassir
kata muslim pada ayat tadi adalah at-Tauhid, menunjukkan bahwa
ajaran yang di anut oleh Nabi Ibrahim u bernama at-Tauhid. Meski demikian ia memiliki substansi
yang sama dengan Islam, hanya saja setelah agama penyempurna yang dibawa Nabi
Muhammad r datang, nama tersebut berubah menjadi agma Islam.
Bukti lain terkait
hal ini adalah Hadis Shahih dari Shahabat Abu Hurairah: “Aku (Nabi Muhammad r) adalah orang yang paling dekat dengan Nabi Isa bin Maryam
di dunia maupun di akhirat. Para nabi adalah bersaudara, ibu mereka
berbeda-beda namun agama mereka adalah satu.”5
Ketiga, penyatuan tiga agama di bawah payung Abrahamic Faith
adalah upaya yang bertepuk sebalah tangan. Dalam sejarah, baik kaum Yahudi atau
Nasrani sejak dahulu tidak pernah bisa berkompromi menjadikan Nabi Ibrahim u sebagi pioner agama mereka. Sebuah data sejarah yang
banyak dikutip oleh mufassir menyebutkan bahwa sekelompok Nasrani Najran pernah
berselisih pendapat dengan sekelompok orang Yahudi. Mereka saling mengkalim
sebagai pengikut sah Nabi Ibrahim AS.
Kaum Nasrani berkata
bahwa Nabi Ibrahim u adalah seorang Nasrani, demikian pula orang Yahudi.
Namun ketika perseteruan tersebut dihapkan pada Nabi Muhammad r, beliau malah berkata: “Dua kelompok itu (Yahudi dan Nasrani)
bebas (bari’) dari Ibrahim u dan agamanya. Bahkan Nabi Ibrahim adalah seorang yang muslim dan tulus (hanîfan-musliman),
dan aku (Nabi Muhammad) pengikut agamanya (Nabi Ibrahim u). Maka ikutilah agamanya, yakni agama Islam”6
Abdul Hamid/Istinbat