Di era milenial seperti saat ini,
sepertinya tidak ada hal yang tidak mungkin terjadi. Peradaban dunia (Barat) rupanya cukup menjadi
angin segar bagi kita, utamanya dalam bidang industri-teknologi. Apa yang tidak
kita jumpai tempo dulu, sekarang sudah hadir dihadapan kita. Inilah era
globalisasi-teknologi, sebuah era di mana manusia menjadi congkak karena kehebatan yang mereka miliki, meski
semuanya adalah titipan Tuhan yang mestinya harus disyukuri, bukan malah diekspresikan dengan menyembongkan diri.
Hadirnya alat komunikasi
canggih seperti gadget adalah suatu hal yang cukup menggembirakan
untuk kalangan seperti kita. Sebab, alat semacam ini bisa kita fungsikan
sebagai lahan dakwah, lahan silaturrahmi, juga cara untuk mengucapkan salam.
Semua itu menjadi
begitu asyik untuk mengembangkan sayap Islam. Namun, remaja seperti kita, tak
jarang mengoperasikan semua kecanggihan itu justru untuk hal-hal yang sangat kita sukai, dari semua macam
nafsu yang tumbuh subur dalam hati.
Untuk kecanggihan
telekomunikasi, tak jarang semua itu kita gunakan untuk mengucapkan salam pada
lawan jenis. Bukankah itu adalah hal tabu di zaman dulu, yang tiba-tiba sekarang menjadi makanan
hangat yang siap santap di pagi hari? Lantas, bagaimanakah fikih menyikapi ucapan
salam yang sangat dianjurkan, namun diucapkan pada lawan jenis yang justru
sangat dilarang untuk melakukannya?
Hukum Salam
Mengucap salam kepada
sesama muslim sejatinya tergolong hal yang dianjuran dalam Islam (sunah).
Sedangkan menjawabnya adalah wajib, sebagaimana yang telah disabdakan oleh
Rasulullah:
“Demi Zat yang menguasai diriku, kalian tidak akan masuk surga sehingga beriman.
Dan tidaklah kalian beriman sehingga kalian saling mencintai. Bukankah aku
telah menunjukkan pada kalian sesuatu yang ketika kalian melakukannya, maka
kalian akan saling mencintai: semarakkanlah salam antara kalian.” (H.R. Ahmad).
Namun, tidak semua
ucapan salam berhukum sunah, sebagaimana menjawabnya adalah wajib. Ada kondisi
tertentu yang dilegalkan syariat sebagaimana yang akan kami paparkan dibawah
ini.
Hukum Mengucapkan Salam pada Perempuan
Mengucapkan
salam, sebagaimana telah dijelaskan di atas, merupakan anjuran
yang berhukum sunah, dan menjawabnya adalah wajib. Akan tetapi, apabila
dikerjakan oleh dua orang yang berlawanan jenis (laki-laki dan perempuan), maka
memiliki rincian hukum sebagai berikut:
Pertama, sunah, apabila diucapkan
oleh seorang laki-laki kepada istrinya, perempuan yang masih memiliki hubungan
mahram, dan perempuan yang sudah lansia (ajuz).
Kedua, boleh, apabila diucapkan oleh beberapa orang laki-laki kepada satu atau
beberapa orang perempuan, dan hukum menjawabnya wajib.
Ketiga, makruh, apabila diucapkan oleh satu orang laki-laki kepada satu orang
perempuan lain (ajnabiyah) yang masih menggairahkan (musytahat). Maka
perempuan yang menjawab salam adalah haram.
Keempat, haram, apabila disampaikan oleh satu laki-laki kepada satu perempuan
yang bukan mahramnya, dan masih menggairahkan (ajnabiyah-musytahah). Demikian pula
menjawabnya (haram). Atau sebaliknya: satu perempuan (ajnabiyah-musytahah) mengucapkan
salam kepada satu laki-laki lain (ajnaby). Akan tetapi hukum menjawabnya
bagi si laki-laki adalah makruh.
Rincian hukum salam
dan menjawabnya untuk yang kedua dan ketiga berlaku bila tidak ada kekhawatiran
timbulnya fitnah. Sedangkan untuk ketentuan hukum yang keempat berlaku bila ada
kekhawatiran timbulnya fitnah.
Kesimpulan
Kalau kita kembalikan
pada akar persoalan di atas: salam yang dilontarkan oleh
laki-laki pada perempuan via sosmed, maka juga memiliki princian hukum
yang sama sebagaimana di atas.
Demikian pula
memiliki princian hukum yang sama: apabila salam diterima melalui SMS. Cara menjawabnya pun cukup dengan mengucapkan jawaban salam
sesegera mungkin setelah membaca salam tersebut (tanpa ditulis sebagai jawaban). Sebab, apa yang kita tulis sama dengan apa yang kita ucapkan,
sebagaimana ungkapan para ulama:
القلم
احداللسانين
“Pena adalah bentuk
kedua lisan.” sehingga apa yang kita tulis juga harus dijaga dari hal-hal yang jelek
sebagaimana lidah.