Malam hari ketika Fudhail bin Iyadh, untuk kesekian kalinya,
memanjat dinding rumah sang pujaan hati untuk menyerahkan sebagian hasil
rampokannya, dia masih belum tahu bahwa malam itu adalah malam terakhir dari
lembaran hitam kebejatannya dalam diare kebusukan hidup yang telah dia
tulis dengan sangat kejam.
Setelah bertahun-tahun hidup dari hasil jeritan
orang-orang yang dicuri dan dibunuh, malam itu hatinya luruh. Alih-alih
menemukan cahaya hidup di atas sajadah usang yang terhampar di dalam masjid,
Fudhail bin Iyadh justru menemukannya dalam jurang kehinaannya sendiri, yaitu dinding
rumah yang dia jadikan tangga untuk bersua dengan pujaan hatinya.
Namun, jauh sebelum itu, di sela-sela kesibukannya
memimpin kawanan perampok dan pembunuh di kawasan Abyaurid dan Sarkhas (sebuah
daerah di Khurasan), hati Fudhail yang begitu mudah tersentuh dengan kebenaran ternyata
selalu resah melihat pekerjaan bejatnya sendiri, di samping juga bertanya-tanya
kapan semua kebusukan itu akan berakhir dan berhenti. Semua keresahan itu
kemudian terjawab malam itu. Di dinding rumah yang jendelanya dibiarkan
terbuka, satu ayat suci–yang entah dari mana asalnya,menerpanya:
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِيْنَ آمَنُوْا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوْبُهُمْ لِذِكْرِاللَّهِ... اَلآيَةْ (الحديد: 16)
“Belum tibakah saatnya
bagi orang-orang yang beriman untuk menyibukkan hatinya mengingat Allah I?” [QS.
Al-Hadid: 16].
Tanpa sadar, dengan sangat pelan ia menjawab, “Tuhanku, sekaranglah
waktunya!” Fudhail kemudian pergi meninggalkan pujaan hatinya sendiri. Sesaat
kemudian, dia telah sampai dalam ruang di mana cintanya bersua dengan cinta Zat
Sang Pemberi Cinta.
Sejak saat itu, kebejatannya kemudian diganti dengan
ibadah yang tiada henti; kebengisannya diganti dengan ketulusan mengabdi pada Zat
Pemberi Jalan Ruhani. Saat itu pula, tobatnya yang sungguh-sungguh telah
mengantarkannya pada kedudukan tinggi di mata kaum sufi. Namanya kemudian
begitu harum terdengar dalam jagat para wali.
***
Cerita yang sedikit didramatisir dari Risalah-nya
Imam al-Qusyairi dan literatur lain itu bisa saja terjadi pada orang-orang masa
kini. Bahkan, bukan hal yang tak wajar jika cerita itu justru terulang dan kita alami sendiri.
Tinggal seberapa kuat kita siap menerima kenyataan bahwa Tuhan masih
menghendaki kita menjadi orang baik di kemudian hari.
Kalau saja mau jujur, bukankah kita sering merasa bosan
dengan nafsu yang tidak ketemu juntrungannya, tapi tetap saja kita ikuti
sepenuh hati? Faktanya, kita masih terlalu pongah untuk mengakui semua itu, dan
kemaksiatan yang terus berjalan, tanpa disadari telah kita jadikan mazhab resmi
untuk selalu diamini.
Namun, lebih dari semua itu, meskipun diam-diam kita
sering merasa benci pada nafsu yang kita sukai, kenyataannya kita tetap saja welcome
dan merasa enjoy dengan kebusukan sendiri. Kita masih suka berpikir
“Hidup ini hanya sekali, maka harus dinikmati,” justru bukan saat kita dengan
jujur mengikuti hati nurani, seperti yang banyak dibicarakan orang-orang, pada
kemauan untuk membenarkan apa saja yang kita lakukan pedoman gila itu selalu diucapkan.
Oleh karenya, jawaban yang harus kita cari saat ini,
ketika kesombongan seperti itu terus-menerus kita pertahankan, ketika
kenyamanan semu dari nafsu terus saja kita rasakan, kemanakah kita harus
mencari satu ayat suci seperti yang etrjadi dan mampu meruntuhkan keresahan
Fudhail bin Iyadh, ketika memanjat dinding rumah yang jendelanya dibiarkan
terbuka?
Pada sadarnya, jawaban dari semua itu ada pada diri kita
sendiri; pada segudang kemauan untuk menyambut kebaikan Tuhan; pada selusin
harapan dan kenyataan bahwa kita selalu membutuhkan kesadaran. Karena kita tidak
sedang menjadi penjaga pegang yang mesti menunggu dan menahan, maka kita harus
menjemput semua kesadaran dan kemaun itu sendiri.