فَوَاللهِ مَا أَدْرِيْ أَزِيْدَتْ مَلَاحَةً وَحَسَنًا
عَلَى النِّسْوَانِ أَمْ لَيْسَ لِيْ عَقْلٌ
Demi Allah! Entah, apakah
karena dia (orang yang dicintai) semakin cantik
menawan atau memang aku yang sudah tergila-gila?
Ungkapan semacam ini sering kali kita dengar dari
para pencinta. Dalam konteks ini, baik yang tua maupun yang muda tidak ada
sekat pembeda. Semuanya sama. Praktek yang halal dan yang haram pun sudah tidak jauh beda ruang asmaranya. Karenanya, perlu
di sini disuguhkan sekat dan batas dalam mengekspresikan dan melampiaskan rasa
yang tengah menganga di dada.
Secara umum, motivator cinta yang bersemi di dada
itu hanya karena rasa yang tengah bergelora yang menyuburkan keinginan,
ketertarikan, dan kecocokan yang tumbuh bersama dengan objek yang dikagumi.
Semakin kuat kekaguman seseorang akan sesuatu maka semakin kuat pula rasa cinta
yang akan membara.[1]
Begitupula sebaliknya.
Tentu, sesuatu yang mengagumkan itu relatif.
Semua orang memiliki perspektif masing-masing dalam menilai problem anak muda
ini. Apalagi masalah wanita, Rasulullah e pernah menuturkan, “Perempuan
itu dinikahi (oleh seorang pria) karena empat alasan; karena kecantikannya,
kekayaannya, garis keturunannya, dan karena agamanya.”
Mayoritas kaum laki, raup wajah lawan jenis
seakan menjadi prioritas utama dalam menjalin hubungan. Jika paras wajah bermasalah maka ikatan yang hendak kita jalin
dalam lingkaran asmara yang beranjak untuk meminangnya pun harus kandas. Mereka berdalih, nadhar (melihat calon tunangan) ketika meminang wanita
dimaksudkan sebagai barometer, apakah hubungan tersebut akan diteruskan atau tidak. Mereka
menambahkan, cinta itu lahir dari mata. Sedangkan sesuatu yang dilihat pertama kali
oleh mata adalah paras wajah. Makanya,
hal pertama yang harus dinilai adalah paras wajah.
Begitulah cinta membutakan
para pencinta.
Baca juga: Benci Saat Mencintai
Baca juga: Benci Saat Mencintai
Perlu diingat, cinta bersemi tidak hanya semata
karena kecantikan. Bahkan, cinta yang bermula karena hanya kecantikan banyak
kandas di tengah jalan. Alasannya sederhana, karena usia kecantikan tidak
selama umur jagung. Di samping itu, nadhar sebelum meminang itu bukan
tolak ukur, bahkan perannya hanya sebatas polesan rasa dalam bingkai asmara.
Karenanya, tanpa polesan itu, cinta masih bisa bertahan dan bahkan berkembang.
Terkait dengan statemen, berawal dari pandangan
mata lalu cinta akan bersemi tidak melulu benar. Sebab, yang memiliki otoritas
dalam menentukan sesuatu dengan bijak adalah hati. Mata hanya mentransfer ke
hati untuk selanjutnya ia tunduk pasrah dengan keputusan hati. Ini tidak boleh
dibalik.
Sebagian mereka masih mengela, Rasulullah e bersabda, “Wanita
Shalihah adalah orang yang ketika dilihat menyejukkan hati.”. Tentu, kata mereka, sesuatu yang dipandang pertama kali adalah
keindahan wajah. Dengan demikian, masih kata mereka, raup wajah merupakah tolak
ukur.
Pernyataan seperti ini juga tidak mutlak benar. Sesuatu yang menyejukkan hati itu beraneka ragam dan tergantung orang yang
mau menilai. Jika kita memahaminya dengan birahi mungkin kecantikan yang paling
menonjol. Akan tetapi, jika barometernya adalah hati maka suatu yang
berorientasi pada ukhrawî yang akan tampil di grand pertama. Oleh
karena itu, untuk mencapai esensi cinta, hendaknya jangan menggunakan pola
pikir terbalik.
Di samping itu, menjalin hubungan keluarga itu
tidak hanya berbatas pada kepentingan birahi dan dunia. Ada kepentingan lain
yang urgensitasnya harus lebih diprioritaskan oleh kita, akhirat. Bahkan, dengan mengutamakan kepentingan ini kita bisa meraih kepentingan birahi dan
dunia.
Oleh karena itu, hal-hal yang korelasinya itu dengan akhirat harus dijadikan harga mati yang tidak
mengenal negosiasi. Gadis berparas rupawan tapi asusila maka cari yang lain.
Dan, jika kita dihadapkan dengan pilihan antara gadis rupawan tapi asusila dan
gadis beretika tapi tidak rupawan maka kita harus memantapkan diri untuk
memilih yang kedua.
Tentu, masalah semacam ini juga berlaku bagi para
wanita dalam memilih pasangannya. Mereka juga harus memprioritaskan masalah
akhirat daripada urusan dunia. Jika demikian yang dilakukan, maka cinta yang
semi akan abadi selamanya, insyaallah!
So, jangan sampai kita
dibutakan oleh mata cinta yang ruang lingkupnya seluas daun kelor yang hanya
mempertimbangkan kepentingan
selera. Kita
harus peka dalam menentukan pilihan bibit cinta yang berkualitas, karena
pasangan kita itu tidak hanya untuk dijadikan teman di dunia. Di akhirat nanti kita bisa bersama pasangan
kita. Endingnya
sekarang, hanya ada dua pilihan yang harus diambil, kita membutakan cinta
dengan cara seperti penjelasan di muka, atau malah
dibutakan oleh cinta yang memang buta. Selamat menentukan pilihan!