Rasulullah Marah!?? Sebagaimana
jamak diketahui, Nabi Muhammad ﷺ adalah seorang
manusia pilihan yang diutus Allah I ke muka bumi ini
sebagai rahmatan lil ‘âlamîn. Beliau begitu istimewa beliau, hingga familiar
dengan sebutan al-Basyar Laisa kal-Basyar, manusia luar biasa. Namun demikian,
seistimewa apapun putra Sayid Abdullah ini, beliau ﷺ tetaplah manusia biasa
(baca: normal) yang hidup dengan segala sifat kemanusiaannya: memiliki sifat susah,
kadang gembira, sabar, bahkan kadang juga marah dan sangat marah ketika melihat
sesuatu yang tidak disuka.
Bagaimana Nabi ﷺ kita bisa marah,
padahal beliau ﷺ sendiri
melarang umatnya untuk marah? Dalam riwayat Abu Hurairah t,
Nabi pernah bersabda: “Orang yang kuat tidaklah mereka yang kuat dalam
bergulat, namun mereka yang bisa mengendalikan dirinya ketika marah.” (HR. Imam
Malik).
Masalah semacam ini,
kadang dibuat kesempatan oleh-orang-orang yang ingin melemahkan imannya kaum
Muslimin. Mereka berusaha mencuci otak kaum Muslimin agar tidak percaya lagi
pada sabda-sabda Nabi Muhammad ﷺ. Mereka
mengumbar-umbar asumsi bahwa pekerjaan Nabi Muhammad ﷺ
banyak yang tidak sejalan dengan apa yang diucapkannya. Buktinya, kata mereka,
Nabi Muhammad ﷺ pernah menyuruh
umatnya untuk tidak marah, tapi pada kenyataanya beliau sendiri juga pernah
marah.
Untuk itu, artikel
singkat ini akan mengkaji secara singkat mengenai “kemarahan Nabi.” Tujuan
penulis adalah, tak lain hanya ingin mengupas tuntas masalah tersebut agar para
pembaca secara khusus dan masyarakat Muslim secara umum selalu berkeyakinan
bahwa apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad ﷺ
pasti benar dan sejalan dengan perintah Allah I.
Mengenai pertanyaan di
atas, jawabannya ialah, kemarahan Nabi itu memang disebabkan oleh beberapa hal.
Namun dapat dipastikan, kesemuanya bermuara pada satu sebab, yaitu sesuatu yang
berhubungan dengan kepentingan agama, bukan kepentingan pribadinya. Nabi perlu
marah untuk memberikan penekanan bahwa hal tertentu tidak boleh dilakukan
umatnya. Sebagai guru seluruh manusia dan pemberi petunjuk ke jalan yang lurus,
Nabi perlu marah agar mereka menjauhi segala perbuatan yang tidak elok. Dan hal
ini, tidaklah bertentangan dengan dua buah hadis di atas.
Oleh karena itu,
Rasulullah pernah marah saat mendengar laporan bahwa Usamah bin Zaid membunuh
orang yang sudah mengatakan lâ Ilâha illallâh (tiada Tuhan selain Allah) di
medan perang. Sedangkan Usamah membunuhnya karena menyangka orang itu
melafalkan kalam tauhid hanya untuk menyelamatkan diri. Akan tetapi Nabi
menyalahkan Usamah dan berkali-kali mengatakan, “Apakah engkau membunuhnya
setelah dia mengatakan lâ Ilâha illallâh?” (HR. al-Bukhari)
Di lain waktu, raut wajah
Nabi pernah berubah karena marah, yakni ketika para Sahabat merayu beliau agar
tidak memotong tangan seorang wanita yang mencuri. Alasan merekaialah, sebab
wanita tersebut adalah wanita terpandang dari suku Bani Makhzum, salah satu
suku besar Quraisy. Lantas Nabi menegaskan, “Apakah layak aku memberikan
pertolongan terhadap tindakan yang melanggar aturan Allah?”(HR. al-Bukhari dan
Muslim)
Pada kejadian lain, di
pasar Madinah, terjadi perselisihan antara seorang sahabat Nabi dengan pedagang
Yahudi. Perselisihan itu sampai membuat si Yahudi bersumpah, “Demi Dzat yang
telah memilih Musa u
di antara manusia lainnya.” Ungkapan sumpah ini membuat sahabat Nabi itu marah.
Ia menampar si Yahudi seraya berkata,“Kamu mengatakan ‘Demi Dzat yang telah
memilih Musa u
di antara manusia lainnya, sedang di tengah-tengah kita ada Nabi Muhammad ﷺ?”
Orang Yahudi tersebut tidak
terima dengan perlakuan Sahabat Nabi itu. Ia pun bergegas menemui Nabi Muhammad
ﷺ untuk melaporkan kejadian tadi. Mendengar pengaduan
itu, Nabi Muhammad ﷺ marah
dan mengatakan, “Janganlah kalian saling mengunggulkan Nabi yang satu dengan Nabi
lainnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Tidak hanya saat perintah
Allah dilanggar, Nabi juga marah bila umatnya tidak segera melakukan kebaikan atau
menangguhkan sesuatu yang seharusnya diutamakan. Hal itu sebagaimana
diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dari Jarir bin Abdullah t
yang mengisahkan, “Rasulullah ﷺ pernah
berkhutbah dan mendorong kami untuk bersedekah. Namun orang-orang lamban sekali
dalam melaksanakan dorongan itu, hingga terlihat raut kemarahan di wajah beliau.”
(HR. Ahmad)
Namun yang perlu diingat
sebagaimana penjelasan di atas bahwa, Nabi tidak pernah marah karena urusan
pribadi beliau. Sebagaimana riwayat Imam Bukhari bahwasanya, “Suatu ketika
Rasulullah ﷺ bersama para sahabatnya sedang berjalan
menuju suatu tempat. Kemudian ada seorang Arab primitif yang dengan spontan
menarik bagian atas jubah beliau dengan keras sampai leher beliau berwarna
merah seraya berkata, ‘Hei, beri aku sedekah!’ Seketika itu pula Rasulullah ﷺ menyuruh para
Sahabatnya untuk memberikan sesuatu pada orang Arab tersebut tanpa marah
sedikitpun.” (HR. Bukhari)
Juga, bila harus marah
kepada seseorang, Nabi tidak langsung menegurnya di depan umum. Beliau tidak
ingin menjatuhkan harga diri orang yang bersalah itu. Oleh karenanya, ketika beliau
melihat seseorang mengarahkan pandangannya ke atas pada saat melaksanakan
shalat, dimana hal itu adalah merupakan perbuatan yang dilarang syariat, beliau
menegur perbuatan itu dengan bahasa yang umum. Nabi tidak menyebutkan nama
orang yang melakukan hal itu, karena untuk menjaga perasaannya. Nabi hanya
berkata, “Apa yang menyebabkan segolongan orang mengangkat pandangannya ke
langit ketika melaksanakan shalat?” (HR. Bukhari). Pertanyaan Nabi ini dalam
retorika Bahasa Arab disebut dengan istifham inkari (bentuk pertanyaan untuk
mengungkapkan pengingkaran terhadap sesuatu). Dalam teguran ini, Nabi tidak
menyebut nama orang yang berbuat salah di depan umum, namun hanya menyindirnya
saja.
Melihat beberapa kajian
di atas, kita bisa memahami bahwa Rasulullah ﷺ
tidak menyalahi ucapannya sendiri dalam hal melarang umat Islam untuk marah.
Dengan demikian, kita jangan pernah meragukan lagi akan kebenaran
tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad ﷺ,
walaupun secara zahir seakan tidak sejalan dengan apa yang kita anggap benar.
Sebab, para Nabi dan Rasul telah mendapat jaminan dari Allah I
tidak akan pernah berbuat kemaksiatan.