Ketika Agama Islam Memberangus Sepak Bola




Melihat carut marutnya persepakbolaan negeri ini; konflik internal yang terus menerus melanda PSSI; bentrok antar suporter yang tak kunjung usai dan semakin menjadi-jadi, maka lolos ke laga final AFF untuk menantang tim sebesar Thailand benar-benar sangat mengejutkan. Meski akhirnya harus terhenti juga di runner up, namun itu cukup membanggakan. Paling tidak, persatuan yang sangat absurd untuk dilakukan, buktinya terjalin mesra disana.

Bisa kita lihat sendiri, api nasionalisme bangsa yang seakan telah mati, tiba-tiba berkobar kembali. Meski ini cukup aneh bagi kita, kaum santri–karena negeri ini ternyata bisa bersatu karena sepak bola, jarang sekali oleh agama, bukankah ada baiknya juga. Ketika tayang, bisa jadi semua televisi hidup di rumah-rumah. Tanpa kita sadari, persatuan dan dukungan yang kita berikan telah begitu membuncah.

Lebih dari itu, kita bisa menyaksikan situasi dan kondisi yang jarang sekali kita temui untuk sebuah dukungan pada bangsa. Seperti hilangnya sekat pembeda, antara anak remaja dan orang tua, laki-laki dan wanita. Semuanya bersatu-padu begitu saja.

Namun, justru pada saat itulah permasalahan yang membingungkan terjadi. Yaitu, pada benturan antara agama dan bangsa. Antara hukum ayat-ayat suci dan kemauan sendiri. Agama kita memberi perintah untuk mencintai bangsa, itu jelas. Tapi, di samping itu, agama kita juga melarang laki-laki untuk kumpul bersama wanita (ajnabiyah), bertelanjang membuka busana (aurat), dan bentuk kelancangan-pelanggaran lainnya. Seperti tawuran, caci maki, dan juga judi. Ironisnya, semua itu bisa dipastikan akan terjadi di tribun sepak bola, saat tim yang kita banggakan berlaga.

Hukum Sepak Bola

Sekalipun pada masa Nabi Muhammad tidak ada permainan seperti sepak bola, namun pada dasarnya, hukum sebuah permainan itu tidak apa-apa. Tergantung seperti apa permainan yang dimainkan, juga seperti apa realita yang terjadi saat permainan itu berlangsung. Di samping juga ada perincian-perincian yang mesti diperhatikan.

Perincian pertama bolehnya sepak bola dimainkan adalah seputar kesehatan. Apakah sepak bola dapat menyehatkan? Itu sudah sangat jelas sekali. Terlepas dari insiden-insiden kecil yang sering terjadi dan kadang dapat melukai, seperti benturan-benturan kaki yang kadang mengakibatkan cedera.

Perincian kedua adalah masalah pelanggaran agama dan adanya kemaksiatan. Apakah di lapangan sepak bola atau di luarnya ada kemaksiatan?  Sepertinya cukup banyak! Bahkan, sepertinya kami juga perlu untuk membagi-bagi pelanggaran yang selalu terulang dan terus terjadi di bawah ini.

Pelanggaran Sepak Bola

Pertama, yang paling mudah kita temukan saat berlangsungnya pertandingan adalah campur baurnya laki-laki dengan perempuan. Dari televisi yang kita saksikan, ataupun dari tribun yang kita duduki, akan kita temukan para wanita berhimpitan dengan laki-laki. Menyaksikan secara live di stadion, ataupun dengan duduk santai di warung kopi dari layar televisi, bisa kita pastikan pula bahwa yang duduk satu tribun itu bukanlah mahram.      

Kedua, yang paling menyesakkan dada adalah aurat wanita yang dibiarkan terbuka dan memancing mata nakal laki-laki untuk melihat, kemudian menggodanya. Memang tidak akan kita temukan suporter yang memakai surban, apalagi para pemain yang mamakai jubah. Itu akan terlihat lucu. Namun, paling tidak untuk celana pendek para pemain seharusnya bisa menutup aurat laki-laki yang batasnya dari pusar hingga lutut. Begitupun untuk suporter.

Ketiga, bentrok yang sangat merugikan. Kekalahan memang kadang mengundang kemarahan. Maka, sepak bola yang awalnya adalah permainan biasa, tiba-tiba saja menjadi kompetensi yang sangat bergensi, yang bisa mengubah para pendukungnya menjadi pasukan yang siap perang. Permainan ternyata bisa sekeras dan seseram itu. Maka, tidak heran jika Mas Dwy Sadoellah dalam esainya seakan bertanya, “Bermain sungguh-sungguh, atau sungguh-sungguh bermain?” karena semua itu sangat tidak etis dilakukan, selain juga sangat dilarang oleh agama.

Keempat, judi. Konon, efek yang bisa ditimbulkan oleh penjudi yang rugi adalah stres dan bahkan gila. Ketika pertandingan berlangsung dan kita telah memasang harga tinggi dalam perjudian, misalnya, maka saat itulah beban psikologis menghimpit perasan kita. Akankah saya menang sekarang? ketika pluit akhir ditiup, dan Dewi Fortuna ternyata tidak memihak pada klub kebanggaan kita-yang berarti juga tidak memihak pada perjudian kita, maka didahului oleh beban uang yang melayang, pikiran kita akan tersita, hingga akhirnya kita tak mampu menahannya.

Sebab itulah mungkin al-Quran melarang kita berjudi, meski al-Quran sendiri tidak menafikan manfaat yang ditimbulkan darinya.

Konklusi

Melihat pelanggaran-pelanggaran yang selalu terjadi itu, hukum boleh dari sepak bola akhirnya berganti sendiri. Karena kemungkaran yang terjadi semuanya berhukum haram, makam hukum sepak bola juga haram. Namun, hukum ini bisa kembali seperti asal (boleh) jika illat yang ada telah sirna.

Kehidupannya datar-datar saja. Tak pernah suspensi di sana-sini. Maklum dia bukan anak orang besar dan kaya. Tak pernah ada yang waw setiap hari.

Bagikan Yuk!!!

Sajian Yang Lain

Previous
Next Post »