Politik pencitraan adalah politik yang sengaja dibuat
untuk menggambarkan seseorang, pejabat, partai, dan lainnya baik berdampak positif
atau negatif. Politik pencitraan positif digunakan untuk mengangkat elektabilitas
seseorang atau golongannya, sedangkan pencitraan negatif berguna untuk
menjatuhkan lawannya. Setiap politik pencitraan ini biasa dimanfaatkan untuk
memunculkan tokoh yang diingankan suatu golongan atau untuk mengangkat derajat
dan pengangkatan dalam militer maupun dalam jabatan sipil. Karena namanya politik
tidak jarang dilakukan dengan jalan yang sangat radikal.
Sebagai contoh, ko lonel yang
dirancang dalam empat tahun bisa naik pangkat menjadi jenderal bintang 4, maka
dibentuklah sebuah tim sukses lengkap dengan biaya yang sangat besar. Tim in
bergerak dengan merancang kerusuhan di tingkat masyarakat tertentu dan
terciptalah kerusuhan besar itu. Si kolonel bergerak sesuai panduan agar menyelesaikan
kerusuhan besar itu dan bereslah dengan cepat. Pada akhirnya tercapailah target
bintang 4 dalam jangka 4 tahun.
Pemilihan kepala daerah
secara langsung hakikatnya adalah kontes popularitas seseorang. Praktek ini
pada dasarnya merupakan produk pencitraan yang terbentuk dari interaksinya yang
intensif dengan masyarakat. Setiap orang bagi orang lain, memiliki citra positif
dan negatif, begitu pula dimata publik yang mengenalnmya. Perbedaan dari hasil
perolehan suara masing-masing adalah porsi persentasenya, apakah citra positif
atau citra negatif yang dominan di mata publik. Popularitas seseorang yang
kemudian menjadi tokoh atau figur terbentuk dari akumulasi interaksinya.
Penanganan krisis citra
yaitu penanganan suatu keadaan dimana kepercayaan masyarakat atau konstituen
politik terhadap kandidat kepala daerah yang mengalami kemerosotan, kemunduran,
bahkan kehilangan kepercayaan masyarakat. Baik di karenakan kejadian atau
peristiwa tertentu yang mendapat perhatian publik. Dalam membangun citra,
kandidat kepala daerah akan menghadapi isu seputar kredibilitas, masa lalu,
politik pribadi dan sebagainya. Hal ini harus dapat di counter dengan baik agar
tidak berkembang merusak citra positif yang sudah dan sedang dibangun.
Analisis media membantu
kandidat kepala daerah untuk menganalisis media agar tidak dirugikan akibat
pemberitan yang salah dan bias yang disebabkan oleh sudut pandang wartawan yang
negatif dalam penulisan berita, pemilihan bahasa dan cara penyampaian oleh
wartawan yang kurang tepat, prasangka tersembunyi, bias waktu, kesalahan
wartawan memahami konteks, perspektif wartawan yang dangkal, dan berbagai
bentuk interes kepentingan kelompok tertentu sehingga dalam menonjolkan isu dan
fakta tidak berimbang dan merugikan kandidat kepala daerah.
Menjual citra positif dan
program sesuai keunikan, kompetensi, dan prestasi kandidat kepala daerah
sebagai pemimpin yang memiliki jiwa kepemimpinan sesuai kultur budaya
Indonesia, santun, agamis, jujur, dan bertangung jawab kepada Allah I.
Klasifikasi Hukum Pencitraan
Adapun
hukum melaksanakan politik pencitraan baik dalam dunia birokrasi atau bukan sebagaimana
pendapat Imam Ghazali terdapat tiga klasifikasi hukum. Pertama, tidak
boleh (mahdzur) apabila langlah-langkah yang ditempuh oleh calon
pemimpin dan antek-anteknya tidak dibenarkan syariat seperti penipuan (talbîs),
menyebutkan aib atau kejelekan lawan, mengadu domba dan lainnya. Begitu pula
menyiarkan kebaikan-kebaikan calon pemimpin yang dicitrakan ternyata tidak ada
ditokoh yang dicitrakan.
Kedua,
hukumnya boleh apabila dengan pencitraan sifat yang dimiliki kandidat pemimpin.
Seperti firman Allah I yang
menceritakan bujukan Nabi Yusuf e
pada rajanya:
Artinya: “Izinkanlah aku untuk menjaga hasil tanam
bumi itu, sesungguhnya aku mampu menjaga dan mengetahui tata caranya.”
Dalam
ayat tersebut Nabi Yusuf u mencitrakan
dirinya dengan mencari perhatian sang raja akan kemampuan dan pengetahuan yang
beliau miliki. Ketepatan saat itu beliau membutuhkan kursi kekuasaan dan beliau
memang benar atas pengakuan yang Nabi Yusuf u sampaikan.
Model hukum yang ketiga
juga diperbolehkan yaitu pencitraan yang dilakukan dengan tujuan menjaga
elektabilitas dengan menutupi kejelekan orang tertentu dengan cara yang
dibenarkan syara’. Bahkan dilarang merusak kehormatan orang lain dengan
membeberkan kejelekannya. Praktek ini bukan termasuk penipuan (talbîs)
melainkan menutup sarana terbukanya cela yang sebenarnya tidak ada gunanya
untuk diperbincangkan. Seperti orang yang berusaha menutupi keburukan raja atau
pemimpin yang pernah meminum khamr.
Beda halnya bila memujinya
dengan predikat warak. Sebab pujian sedemikian merupakan pernyataan warak yang diungkapkan
untuk pemimpin tersebut adalah penipuan (talbîs) dan tidak mengakui
bahwa raja tersebut pernah meminum khamr yang pada hakikatnya
bertentangan dengan iktikad warak. Juga diperbolehkan pencitraan jika tidak
terdapat hal-hal yang diharamkan, dalam rangka memberikan informasi tentang
calon pemimpin agar pemilih bisa membedakan mana yang layak dan tidak.
Kriteria Hukum Memuji Orang Lain
Syara’ tidak melarang
pujian atas nikmat yang diterima orang lain asalkan mematuhi rambu-rambu
syariat berikut. Diantaranya, boleh memuji orang dengan menjaga dari pujian
berlebihan yang tidak sesuai kenyataan. Seperti memberitahukan pada orang-orang
akan kecintaan dan keihklasan si fulan dalam berdakwah padahal kenyataannya
tidak demikian. Pula menjaga pujian dari perkataan sesuatu yang belum diketahui
hakikatnya. Syarat selanjutnya, orang yang dipuji bukan orang fasik. Beda masalahnya
jika memuji orang fasik sebab ingin selamat dari kezalimannya atau memperoleh
hak yang dirampasnya atau memperoleh haknya dengan bantuan orang fasik maka dengan
demikian tidak apa-apa karena keadaan darurat memperbolehkan perkara haram.
Adapun maksud dari hadis Nabi
e riwayat sahabat Anas t yang menyatakan
bahwa Allah I murka
ketika orang fasik dipuji adalah karena Allah e memerintahkan
umat nabi agar tidak mendekati orang fasik. Termasuk menjalin kasih sayang, melakukan komunikasi, dan menginformasikan
pekerti baik akan kefasikan orang fasik tanpa alasan yang dibenarkan syara’
maka ia telah melanggar perintah Allah I. Hadis
riwayat Ya’la menyebutkan: “Ketika orang fasik dipuji maka Allah I marah
hingga arsy bergonjcang.” Hal sedemikian tidak mengherankan karena
memuji orang munafik menjadi petunjuk adanya keridaan dengan perkara yang
dibenci Allah I
bahkan mendekati kekufuran sebab terkadang perangai tersebut menyebabkan
menghalalkan perkara yang diharamkan Allah I.
Jika hukum memuji orang fasik sedekmikian parahnya lantas bagaimana hukum
memuji orang zalim yang menjadi gambaran merendahkan harga diri muslim dalam
mengikuti keinginan zalim serta rida dengan perlakuan zalimnya.
Oleh sebab itu selayaknya orang mukmin ketika dipuji
maka ia merasa malu pada Allah I atas
sifat yang dinisbatkan pada dirinya dan ia sendiri tidak memiliki sifat
tersebut. Manusia paling bodoh adalah orang yang meninggalkan keyakinan dirinya
demi mengukuhkan prasangka baik orang lain tentang dirinya. Sikap orang zuhud
ketika mendapat pujian maka mereka sedih karena menyaksikan pujian itu dari
makhluk. Sedangkan tingkatan ‘ârifin (orang yang makrifat billah) ketika
dipuji merasa bahagia karena hakikatnya pujian tersebut datang dari al-Mâlikul
haq sebagaimana keterangan dalam kitab al-Faidh.