Politik Pencitraan dalam Pandangan Islam


Politik pencitraan adalah politik yang sengaja dibuat untuk menggambarkan seseorang, pejabat, partai, dan lainnya baik berdampak positif atau negatif. Politik pencitraan positif digunakan untuk mengangkat elektabilitas seseorang atau golongannya, sedangkan pencitraan negatif berguna untuk menjatuhkan lawannya. Setiap politik pencitraan ini biasa dimanfaatkan untuk memunculkan tokoh yang diingankan suatu golongan atau untuk mengangkat derajat dan pengangkatan dalam militer maupun dalam jabatan sipil. Karena namanya politik tidak jarang dilakukan dengan jalan yang sangat radikal.
Sebagai contoh, kolonel yang dirancang dalam empat tahun bisa naik pangkat menjadi jenderal bintang 4, maka dibentuklah sebuah tim sukses lengkap dengan biaya yang sangat besar. Tim in bergerak dengan merancang kerusuhan di tingkat masyarakat tertentu dan terciptalah kerusuhan besar itu. Si kolonel bergerak sesuai panduan agar menyelesaikan kerusuhan besar itu dan bereslah dengan cepat. Pada akhirnya tercapailah target bintang 4 dalam jangka 4 tahun.
Pemilihan kepala daerah secara langsung hakikatnya adalah kontes popularitas seseorang. Praktek ini pada dasarnya merupakan produk pencitraan yang terbentuk dari interaksinya yang intensif dengan masyarakat. Setiap orang bagi orang lain, memiliki citra positif dan negatif, begitu pula dimata publik yang mengenalnmya. Perbedaan dari hasil perolehan suara masing-masing adalah porsi persentasenya, apakah citra positif atau citra negatif yang dominan di mata publik. Popularitas seseorang yang kemudian menjadi tokoh atau figur terbentuk dari akumulasi interaksinya.
Penanganan krisis citra yaitu penanganan suatu keadaan dimana kepercayaan masyarakat atau konstituen politik terhadap kandidat kepala daerah yang mengalami kemerosotan, kemunduran, bahkan kehilangan kepercayaan masyarakat. Baik di karenakan kejadian atau peristiwa tertentu yang mendapat perhatian publik. Dalam membangun citra, kandidat kepala daerah akan menghadapi isu seputar kredibilitas, masa lalu, politik pribadi dan sebagainya. Hal ini harus dapat di counter dengan baik agar tidak berkembang merusak citra positif  yang sudah dan sedang dibangun.
Analisis media membantu kandidat kepala daerah untuk menganalisis media agar tidak dirugikan akibat pemberitan yang salah dan bias yang disebabkan oleh sudut pandang wartawan yang negatif dalam penulisan berita, pemilihan bahasa dan cara penyampaian oleh wartawan yang kurang tepat, prasangka tersembunyi, bias waktu, kesalahan wartawan memahami konteks, perspektif wartawan yang dangkal, dan berbagai bentuk interes kepentingan kelompok tertentu sehingga dalam menonjolkan isu dan fakta tidak berimbang dan merugikan kandidat kepala daerah.
Menjual citra positif dan program sesuai keunikan, kompetensi, dan prestasi kandidat kepala daerah sebagai pemimpin yang memiliki jiwa kepemimpinan sesuai kultur budaya Indonesia, santun, agamis, jujur, dan bertangung jawab kepada Allah I.
Klasifikasi Hukum Pencitraan
Adapun hukum melaksanakan politik pencitraan baik dalam dunia birokrasi atau bukan sebagaimana pendapat Imam Ghazali terdapat tiga klasifikasi hukum. Pertama, tidak boleh (mahdzur) apabila langlah-langkah yang ditempuh oleh calon pemimpin dan antek-anteknya tidak dibenarkan syariat seperti penipuan (talbîs), menyebutkan aib atau kejelekan lawan, mengadu domba dan lainnya. Begitu pula menyiarkan kebaikan-kebaikan calon pemimpin yang dicitrakan ternyata tidak ada ditokoh yang dicitrakan.

Kedua, hukumnya boleh apabila dengan pencitraan sifat yang dimiliki kandidat pemimpin. Seperti firman Allah I yang menceritakan bujukan Nabi Yusuf e pada rajanya:
Artinya: “Izinkanlah aku untuk menjaga hasil tanam bumi itu, sesungguhnya aku mampu menjaga dan mengetahui tata caranya.”
            Dalam ayat tersebut Nabi Yusuf u mencitrakan dirinya dengan mencari perhatian sang raja akan kemampuan dan pengetahuan yang beliau miliki. Ketepatan saat itu beliau membutuhkan kursi kekuasaan dan beliau memang benar atas pengakuan yang Nabi Yusuf u sampaikan.
Model hukum yang ketiga juga diperbolehkan yaitu pencitraan yang dilakukan dengan tujuan menjaga elektabilitas dengan menutupi kejelekan orang tertentu dengan cara yang dibenarkan syara’. Bahkan dilarang merusak kehormatan orang lain dengan membeberkan kejelekannya. Praktek ini bukan termasuk penipuan (talbîs) melainkan menutup sarana terbukanya cela yang sebenarnya tidak ada gunanya untuk diperbincangkan. Seperti orang yang berusaha menutupi keburukan raja atau pemimpin yang pernah meminum khamr.
Beda halnya bila memujinya dengan predikat warak. Sebab pujian sedemikian merupakan pernyataan warak yang diungkapkan untuk pemimpin tersebut adalah penipuan (talbîs) dan tidak mengakui bahwa raja tersebut pernah meminum khamr yang pada hakikatnya bertentangan dengan iktikad warak. Juga diperbolehkan pencitraan jika tidak terdapat hal-hal yang diharamkan, dalam rangka memberikan informasi tentang calon pemimpin agar pemilih bisa membedakan mana yang layak dan tidak.
Kriteria Hukum Memuji Orang Lain
Syara’ tidak melarang pujian atas nikmat yang diterima orang lain asalkan mematuhi rambu-rambu syariat berikut. Diantaranya, boleh memuji orang dengan menjaga dari pujian berlebihan yang tidak sesuai kenyataan. Seperti memberitahukan pada orang-orang akan kecintaan dan keihklasan si fulan dalam berdakwah padahal kenyataannya tidak demikian. Pula menjaga pujian dari perkataan sesuatu yang belum diketahui hakikatnya. Syarat selanjutnya, orang yang dipuji bukan orang fasik. Beda masalahnya jika memuji orang fasik sebab ingin selamat dari kezalimannya atau memperoleh hak yang dirampasnya atau memperoleh haknya dengan bantuan orang fasik maka dengan demikian tidak apa-apa karena keadaan darurat memperbolehkan perkara haram.
Adapun maksud dari hadis Nabi e  riwayat sahabat Anas t yang menyatakan bahwa Allah I murka ketika orang fasik dipuji adalah karena Allah e memerintahkan umat nabi agar tidak mendekati orang fasik. Termasuk menjalin kasih sayang,  melakukan komunikasi, dan menginformasikan pekerti baik akan kefasikan orang fasik tanpa alasan yang dibenarkan syara’ maka ia telah melanggar perintah Allah I. Hadis riwayat Ya’la menyebutkan: “Ketika orang fasik dipuji maka Allah I marah hingga arsy bergonjcang.” Hal sedemikian tidak mengherankan karena memuji orang munafik menjadi petunjuk adanya keridaan dengan perkara yang dibenci Allah I bahkan mendekati kekufuran sebab terkadang perangai tersebut menyebabkan menghalalkan perkara yang diharamkan Allah I. Jika hukum memuji orang fasik sedekmikian parahnya lantas bagaimana hukum memuji orang zalim yang menjadi gambaran merendahkan harga diri muslim dalam mengikuti keinginan zalim serta rida dengan perlakuan zalimnya.

Oleh sebab itu selayaknya orang mukmin ketika dipuji maka ia merasa malu pada Allah I atas sifat yang dinisbatkan pada dirinya dan ia sendiri tidak memiliki sifat tersebut. Manusia paling bodoh adalah orang yang meninggalkan keyakinan dirinya demi mengukuhkan prasangka baik orang lain tentang dirinya. Sikap orang zuhud ketika mendapat pujian maka mereka sedih karena menyaksikan pujian itu dari makhluk. Sedangkan tingkatan ‘ârifin (orang yang makrifat billah) ketika dipuji merasa bahagia karena hakikatnya pujian tersebut datang dari al-Mâlikul haq sebagaimana keterangan dalam kitab al-Faidh.

Kehidupannya datar-datar saja. Tak pernah suspensi di sana-sini. Maklum dia bukan anak orang besar dan kaya. Tak pernah ada yang waw setiap hari.

Bagikan Yuk!!!

Sajian Yang Lain

Previous
Next Post »